MTS SE KKM MTSN 4 KEDIRI BERHASIL MENGANALISIS MISKONSEPSI PEMBELAJARAN TERDIFERENSIASI
Oleh: Marjuki
Universitas Qomaruddin Gresik
Fasilitator Program Sekolah Penggerak
Pak Angsori, S.Pd., M.Pd.I., Kepala MTs Negeri 4 bergegas mengajak guru MTs se KKM MTs Negeri 4 Kabupaten Kediri, Bimtek Pembelajaran Terdiferensiasi Kurikulum Merdeka. Hari Rabu, 09 Oktober 2024 merupakan hari yang ditakdirkan. Mengapa? Karena bergeser dari jadwal semula. Bersyukur Bimtek berjalan lancar dan mengasyikkan. Para guru MTs se KKM MTs Negeri 4 Kediri merasa senang, bahagia, tidak merasa bosan, dan lelah, dalam waktu singkat mampu menalisis miskonsepsi pembelajaran terdiferensiasi.
Konsep yang didapatkan melampaui daripada konsep yang dipahami selama ini. Mereka berharap bisa bimtek lagi di Tawangmangu Jateng minimal di Telaga Sarangan Magetan Jatim selama tiga hari. Mengapa tiga hari? Jawabnya, dua hari dari pagi sampai malam _full_ bimtek, satu hari _full_ piknik dan _healing_ langsung pulang. Semoga keinginan yang kuat kesampaian. Allahumma aamiiin.
Terkait pemahaman konsep. Ada kalanya orang: Tahu Konsep, Tidak Tahu Konsep, dan Miskonsepsi. Dikatakan Tahu konsep, bila konsepnya benar dan yakin benar. Dikatakan Tidak Tahu Konsep, bila pertama, konsepnya benar tetapi tidak yakin benar. Kedua, konsepnya salah tetapi tidak yakin salah. Secara normal, persentasenya lebih besar. Dikatakan miskonsepsi, bila konsepnya salah, tetapi yakin benar. Orang yang mengalami miskonsepsi biasanya ngeyel, tidak mau menerima masukan atau pendapat orang lain. Mengapa? Menerima masukan orang lain berarti salah. Merasa salah berarti kalah. Oleh karenanya tidak mau kalah. Caranya bagaimana? Dengan cara "ngeyel."
Faktanya yang mengalami miskonsepsi persentasenya jauh lebih besar. Apakah tidak berbahaya? Berbahaya sekali. Mengapa? Orang yang mengalami miskonsepsi, sulit berubah. Jika ada guru yang mengalami miskonsepsi, akan diturunkan ke muridnya. Jika muridnya jadi guru, akan diturunkan ke muridnya, dan seterusnya. Miskonsepsi akan diturunkan secara terus menerus. Pertanyaannya, pembelajaran seperti apa yang dapat menurunkan persentase miskonsepsi?
Apakah mungkin dalam pembelajaran terdiferensiasi terjadi miskonsepsi? Jawabnya, mungkin dan sudah terjadi, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Wow (ekspresi, _speechless_). Selama ini, di benak sebagian guru Indonesia menganggap pembelajaran terdiferensuasi semrawut. Mengapa? Karena harus mengakomodasi semua keberagaman atau perbedaan. Katanya kesemrawutan ini tidak dapat dihindari. Sebenarnya tidak demikian. Agar tidak terjadi gagal paham, simak baik-baik hasil analisis guru MTs se KKM MTs Negeri 4 Kediri, berikut ini.
Pertama. Gunakan karakter dominan di kelas. Jika di kelas ada 30 anak. Dianggap ada 30 karakter anak. Bukan berarti harus ada 30 pendekatan, model, metode, teknik, dan media pembelajaran. Yang benar bagaimana? Gunakan karakter yang paling dominan untuk merancang modul ajar, ditambah variasi-variasi yang mungkin untuk memberikan layanan baik kelompok maupun individu untuk mengakomodasi karakter lain. Layanan anak secara individu maupun kelompok dapat dimulai dari dalam kelas sampai di luar kelas pembelajaran. Pada saat anak bekerja kelompok, datangi ke setiap kelompok. Pastikan mereka yang unik, beragam, dapat terlibat dalam belajar secara fisik maupun mental. Dimana letak miskonsepsinya?
Kedua. Fokus pada layanan anak. Jika sudah memiliki data keberagaman anak, bukan untuk pengelompokan semata. Mengapa? Misalnya kita punya data gaya belajar anak. Bukan berarti anak dalam kelas selalu dikelompokan; Auditori, Visual, Audiovisual, dan Kinestetika. Dalam kesiapan belajar, tidak selalu ada kelompok; _Lower (slow leaner), Middle_ (sedang), dan _Upper (fast leaner)._
Fokus pada pemberian layanan, bukan pada pengelompokan. Pengelompokan bukan karena karakter gaya belajar dan kesiapan belajar. Pengelompokan belajar mengikuti model pembelajaran. Mengapa? Ada model pembelajaran yang mensyaratkan kelompok homogen dan ada juga yang heterogen. Jadi pengelompokan belajar ikuti model pembelajaran yang digunakan.
Yang paling penting guru memiliki data. Anak yang memiliki gaya belajar tertentu dapat berada dalam kelompok mana saja. Anak _lower_ dan _upper_ dapat berada dalam kelompok mana saja. Untuk apa kita harus tahu keberadaan mereka? Tidak lain untuk memudahkan memberikan layanan dan pendampingan. Jika layanan di dalam kelas tidak menunjukkan peningkatan hasil belajar, dapat dilanjutkan di luar kelas setelah pembelajaran. Dimana letak miskonsepsinya?
Ketiga. Gunakan diferensiasi konten, proses, dan produk. Sebenarnya layanan diferensiasi sangatlah banyak, jika dapat menerapkan minimal tiga macam sudah termasuk lumayan. Diferensiasi konten dimaknai sebagai bentuk informasi dapat berupa teks, suara, gambar, dan benda bergerak, dll. Berbagai bentuk informasi mana yang cocok untuk gaya belajar visual, auditori, dan kinestika. Variasi bentuk informasi juga dipilih untuk _lower, middle,_ dan _upper._ Pada saat membuat media pembelajaran, menyusun bahan ajar, dan lembar kerja perlu memperhatikan gaya belajar dan kesiapan belajar. Untuk dapat memenuhi berbagai karakter anak, gunakan sumber belajar yang bervariasi.
Apakah kelompoknya harus sesuai dengan gaya belajar (auditori, visual, kinestetika)? Jawabnya, tidak. Apakah kelomploknya harus sesuai kesiapan belajar _(lower, middle, upper)?_ Dimana letak miskonsepsinya?
Diferensiasi proses dimaknai sebagai cara anak mendapatkan informasi, misanya; menyimak, mendengar, mengamati (observasi), diskusi, wawancara, praktikum, experimen, dll. Pada saat anak mencari informasi dengan berbagai cara di atas, guru perlu mendampingi mereka, baik secara kelompok maupun individu. Berbagai macam bentuk pendampingan sangat diperlukan. Mengapa? Guru memastikan anak terlibat belajar secara fisik mapun mental.* Memastikan anak dalam mencari informasi sesuai yang diharapkan, tidak bias, dan malapraktik.
Guru memperhatikan bagaimana cara belajar anak yang gaya belajarnya berbeda, kesiapan belajar berbeda, dan minat belajar yang berbeda. Jika beberapa anak dijumpai belum maksimal dalam belajar, guru langsung mengidentifikasi dan memberikan bimbingan langsung. Jika bimbingan langsung belum tuntas, dapat dilanjutkan setelah pembelajaran. Dimana letak miskonsepsinya?
Diferensiasi produk dimaknai sebagai cara anak mewujudkan hasil belajarnya dalam bentuk apa saja. Anak memilih tes tulis, hasil belajarnya berupa teks atau tulisan. Anak memilih tes lisan, hasil belajarnya berupa kata-kata atau kalimat. Anak mimilih membuat karya, hasil belajarnya bisa berupa video, lukisan, gambar, dan bentuk karya lainnya. Guru dapat membuat KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan pembelajaran) yang dilengkapi dengan rubrik.
Apakah dalam setiap pembelajaran harus muncul diferensiasi konten, proses, dan produk? Tidak harus muncul ketiganya. Bisa jadi pembelajaran ini hanya muncul diferensiasi konten saja. Pembelajaran berikutnya muncul diferensiasi konten dan poses. Pembelajaran berikutnya bisa muncul ketiganya. Los, terserah kesiapan guru. Guru paling tahu kebutuhan anak sesuai data hasil belajar dan respon keterlaksanaan pembelajaran. Layanan diferensiasi konten, proses, dan produk diharapkan anak mencapai hasil belajar maksimal sesuai dengan harapannya. Anak banyak terbantu dalam pengembangan potensi menjadi kompetensi dengan memperhatikan gaya belajarnya, kesiapan belajarnya, dan minat belajarnya. Dimana letak miskonsepsinya?
Teruslah berinovasi untuk mencari solusi. Kita tidak pernah tahu inovasi yang mana yang disertai hidayah Allah SWT sehingga anak dapat mencapai hasil belajar maksimal.
Gresik, 03 Nopember 2024.
Post a Comment for "MTS SE KKM MTSN 4 KEDIRI BERHASIL MENGANALISIS MISKONSEPSI PEMBELAJARAN TERDIFERENSIASI"