“Runtuhnya Marwah Guru” (Sebuah Catatan kecil)
Oleh : ISA ANSHORI
Situasi
Sekolah adalah sebuah institusi tempat pembentukan karakter. Sekolah merupakan lembaga mulia tempat dimana guru dan murid dapat saling berbagi ilmu, pengetahuan, keterampilan dan karakter. Namun, beberapa tahun terakhir, sekolah seperti kehilangan fungsinya karena banyak dijumpai kejadian atau kasus antara guru, murid dan beserta orangtuanya. Kasus yang marak terjadi yaitu masalah yang berkaitan dengan sikap orang tua dalam menanggapi laporan anak akan sikap guru terhadapdirinya di sekolah. Banyak orang tua menanggapi laporan anak mereka tanpa melakukan tabayyun atau bertanya terlebih dahulu masalah yang sebenarnya. Mereka cenderung menanggapinya dengan sepihak atau menerima laporan tersebuh mentah-mentah. Akibatnya, kasus yang mungkin biasa saja akhirnya menjadi luar biasa manakala orangtua menanggapinya berdasarkan pemikiran negatif atau negative thinking . Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa perilaku anak di sekolah adalah bagian dari hasil didikan mereka di rumah. Perilaku atau sikap anak di sekolah, tidak lain juga kemungkinan besar pengaruh lingkungan rumah atau teman (masyarakat-pergaulan).
Tantangan
Kasus pemukulan murid pada guru yang terjadi di Sampang beberapa tahun silam merupakan salah satu contoh kasus yang sempat viral dan membawa nama baik pendidikan sebagai institusi mulia. Kejadian ini adalah kasus luar biasa yang membuat semua masyarakat miris, sebegitu bobrokkah lembaga pendidikan kita, sehingga tidak mampu merubah dan membimbing karakter siswa menjadi baik?. Kejadian ini perlu mendapat perhatian dan menjadi bahan renungan bagi guru agar hati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan dimasa yang akan datang. Kejadian pemukulan siswa pada guru, pemukulan orang tua murid pada guru atau pelaporan guru pada polisi merupakan tindakan yang dianggap mencoreng lembaga pendidikan sekaligus merugikan dan merendahkan guru. Banyak sekali kejadian dimana guru-guru harus duduk dikursi pesakitan, serta mendekam di balik jeruji besi. Fenomena Ini menjadikan tantangan, atau bahkan menjadi ketakutan bagi sebagian generasi kita untuk menjadikan profesi guru sebagai cita-cita mereka.
Guru sebagai tenaga pendidik di sekolah pasti mengetahui bagaimana sikap, sifat dan perilaku siswanya selama di sekolah. Namun,orang tua juga harus menyadari dan bisa menilai sendiri perilaku, sifat dan sikap anak mereka selama di rumah. Sehingga kejadian kekerasan pada guru yang bedasar atas laporan sepihak siswa tidak dapat diajadikan alasan pembenaran untuk menindak guru dengan cara yang tidak sepantasnya. Menjadi perenungan bersama bahwasannya peran guru di sekolah tidak lain merupakan pengganti orang tua selama di sekolah. Orang tua setidaknya harus mempercayakan anaknya selama di sekolah. Segala laporan apa yang dilakukan oleh anaknya setidaknya tidak ditelan mentah- mentah untuk melakukan suatu tindakan yang sekiranya membuat ketidakpercayaan pada guru ataupun sekolah menjadi berkurang.
Saat ini tugas guru lebih multitasking, cenderung melebihi dari kapasitas tugas utamnya sebagai pendidik. Tugas yang menurut saya keluar dari marwah sosok guru sebenarnya. Tugas yang diemban guru sekarang seperti layakanya pegawai kantoran dengan tugas administrasi yang harus diselesaikan. Bisa dibayangkan ketika guru harus menghadapi setumpuk kertas yang namanya prota, promise, silabus, RPP serta penilaian lain dengan segala analisisnya, masih harus membimbing, mendidik, melatih dan mengajar anak yang tidak berhenti disitu saja. Setelah semua proses pembelajaran, guru juga dituntut untuk mengoreksi tugas murid. Bahkan tugas itupun berlanjut dikerjakan di rumah karena kurangnya waktu di sekolah. Dapat dibayangkan bahwa tugas guru yang sedemikian kompleksnya harus berhadapan juga dengan tindakan tidak menyenangkan baik dari siswa, wali murid maupun dari masyarakat.
Kehidupan sebagai seorang guru masa lalu dengan gaji yang kecil seakan memberikan sebuah kepuasan kebahagiaan tersendiri. Tak terkadang orang tua murid pergi ke sekolah dengan membawakan hasil panennya berupa beras ataupun hasil kebun berupa singkong dan bentuk buah-buahan lainnya. Jika terjadi sesuatu pada anaknya orang tua tak segan justru sangat berterima kasih kepada guru. Bahkan akan memarahi anaknya akan sikap yang telah membuat gurunya marah. Tidak ada rasa emosi pun dari orang tua pada sang Guru. Demikian halnya sang anak dia tidak akan berani melawan ataupun bersikap buruk baik itu ucapan maupun tingkah laku perbuatan terhadap guru. Sopan santun menjadi andalan utama yang harus ditunjukkan. Sikap hormat dan patuh menjadi pedoman mereka. Jadi pada intinya pada masa lalu guru dengan bayaran yang sedikit tidak ada istilahnya mengeluh ataupun merasa kurang bahkan mereka bisa menikmati hidup dengan tenang dan menjadikan rasa arwah mereka utuh lebih dan jadikan dirinya bangga menjadi seorang guru.
Marwah seorang guru yang sebenarnya itulah yang harus dituntut pada saat ini karena nilai-nilai guru di hadapan orang lain sudah mulai menurun. Boleh dikatakan berkurang atau tidak ada sama sekali yang dapat dijadikan ajian terhadap sosok seorang guru.
Ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pemantik kita sebagai seorang guru untuk memulihkan agar marwah guru kembali seperti marwah sebenarnya. Yaitu guru yang disayangi, dihormati dan dihargai karena tugasnya yang mulia, yang dahulu digelari Pahlawan tanpa tanda jasa.
Tidak kita sadari pada dasarnya pada diri kitalah sebagai seorang guru menjadikan nilai kita kurang atau lebih, boleh dikata sebagai marwah telah menurun atau menaik. Hal itu bisa kita rasakan atau kita lihat dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan sekolah sebagai komunitas guru. Apa sajakah itu?
Memang ini hal yang sepele seakan tidak akan dapat menjadikan sesuatu yang logis terhadap apa yang akan terjadi. Pada saat itu pernah oleh kita terlihat sosok guru yang menggunakan seragam linmas atau hansip. Seragam itu mendampingi penerapan pakaian dinas yang sudah ditentukan sebagai pakaian yang resmi lainnya. Pakaian yang resmi ditetapkan secara nasional adalah pakaian keki yaitu pakaian berwarna coklat muda dengan emblem simbol-simbol yang ada sesuai dengan pemerintah daerah setempat. Jadi bisa dikata bahwasanya mereka sama dengan pegawai di kantor pemerintahan. Lain dengan hal sebelumnya para guru menggunakan seragam kebesarannya yaitu Jaspen atau jas lengan pendek terkadang ada yang meyebut seragam DPR. Tentunya tampak gagah berwibawa jika dilihat. Rasa bangga percaya diri tentu muncul dalam diri, meski tidak ada simbol-simbol lain yang melekat dalam seragam itu. Hanya nama serta tanda kepegawaian saja. Dari dua hal inilah kita bisa membandingkan bagaimana seorang guru yang menggunakan seragam kebesaran awalnya dengan Jaspen dibandingkan sosok guru yang menggunakan seragamnya menggunakan pakaian kantoran sebagai staf tugas sehari-hari. Entah apa alasan semua terjadi yang pada dasarnya dapat kita rasakan mengurangi wibawa guru.
Penggemblengan dengan tempat khusus tentu akan bernilai lain. Jika dihadapkan dengan penggemblengan yang sifatnya umum merata banyak komunitas. Tempat kekhususan yang bernaung di sebuah dari sebuah komunitas yang besar akan memberi nuansa lain. Rasa ke akuan, militannsi terutama keguruan tidak akan sekuat jika dalam lembaga candradimuka tersendiri. Ini bisa dilihat dan terjadi, keahlian keguruan sudah dimasukkan komunitas besar membagi dalam sebuah komunitas kecil yang intinya pada kekhususan. Dulu mulai tingkat menengah atas sudah ada yang namanya sekolah khusus guru tingkat SMA dinamakan SPG. Kemudian D2 PGSD dan S1 keguruan dengan berbagai jurusan yang ada masuk dalam lembaga tinggi yang khusus keguruan yang dikenal dengan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau IKIP.
Akan tetapi sekarang semua menjadi ruang lingkup besar komunitas yang luas namun pada titik komunitas lingkup kecil yang mempunyai tugas besar yaitu universitas yang pada akhirnya di dalamnya memuat bagian-bagian terkecil fakultas keguruan. Penggemblengan yang khusus terhadap guru seakan sudah mempunyai ruang lingkup yang kecil, tidak ada kekhasan sehingga menimbulkan efek-efek yang kuat, sudah barang tentu akan menurunkan nilai miitansi dari lahirnya sosok seorang guru itu sebenarnya.
Ki Hajar Dewantoro memberikan sebuah gambaran bahwasanya sebagai seorang guru setidaknya melaksanakan tiga tugas utama yaitu ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani. Di depan kita menjadi contoh di tengah kita membimbing dan di belakang kita mengarahkan. Tugas guru adalah mengajar memberi pengetahuan terhadap anak didik. Mendidik berarti mengarahkan sikap sifat terhadap nilai-nilai yang baik pada anak didik. Dan melatih berarti pembentuk anak anak yang kreatif inovatif dalam mengembangkan potensi keahlian.
Kenyataan pada saat ini guru mempunyai tugas yang lebih dan luar biasa. Bak malaikat, orang pintar, jenius serta serta serba bisa. Segala apa yang ada, pada masa ini seakan harus dikuasai. Dan memang tuntutan itu agar bisa memberikan pengetahuan, serta ketrampilan yang bisa diterima dan dicerna oleh anak didik kita. Ada hal yang terabaikan tugas mendidik, yaitu memberi nilai-nilai kebaikan dalam berperilaku anak didik.
Benarkah seperti itu? Bisa kita bayangkan bagi guru-guru yang sudah usia di atas tengah pertengahan masa saat ini. Anggap saja guru yang sudah berusia 40 tahun ke atas atau 50 tahun keatas. Dengan pengalaman mengajar yang sudah 30 tahun yang lalu. Dihadapkan dengan guru-guru yang masih awal tahun mengajar. Bahkan usia yang lebih muda, pada masa era tahun ini. Ada sebuah anggapan, sapi tua harus dihadapkan dengan sapi muda dalam berlari. Sapi tua harus bisa menghadapi sapi muda bahkan tidak boleh kalah dengan sapi muda. Pernyataan ini bisa tidak ada salahnya, jika dijadikan sebagai sebuah ungkapan untuk memberikan sebuah semangat terhadap seorang guru yang sudah menginjak usia di atas pertengahan tahun pengabdian. Tapi ternyata apa yang terjadi? justru menjadikan sebuah tuntutan di mana sosok guru harus tidak mengenal usia dalam mengembangkan segala keterampilan keguruan demi mengikuti perkembangan zaman. Tidak salah memang, tapi apakah harus disamakan antara orang yang satu dengan yang lainnya?
Kita mempunyai banyak organisasi keguruan saat ini. Akan tetapi masih banyak yang terlihat efek ke guru belum begitu besar. Terutama hal-hal yang menyangkut tentang dorongan dan motivasi yang memberi semangat guru untuk dapat melaksanakan tugas. Menjadikan organisasi seakan hanya sebuah perkumpulan formal yang hanya menekankan pada tuntutan hal-hal yang bersifat ketampakan atau materialisme.Sesuatu yang sifatnya non material, seakan selama ini kita rasa belum begitu besar tampaknya. Guru hanya sebagai objek sasaran pada saat ini dalam hal masalah pendidikan. Membuat begitu cepat nilai yang berbanding terbalik. Di mana dulu guru sebagai subjek dan murid yang dulunya sebagai obyek sudah didudukkan sebagai sama-sama subjek. Bahkan sekarang menjadikan guru sebagai objek. Dari sinilah lahir murid dan orang tua menjadi subyek bahkan super subjek. Maka tidak terasalah oleh kita tugas guru seakan hanya mengejar dan melayani keinginan anak didik dan orang tuannya. Terutama hal yang tampak sesuatu yang tidak tampak seakan tidak terlihat, tidak dibutuhkan, tidak perlu dilakukan, semisal terhadap penanaman nilai-nilai sopan santun, kejujuran, kebaikan dan seterusnya.
Tunjangan Sertifikasi merupakan bentuk atau wujud penghargaan terhadap guru yang ada di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Seiring perkembangan waktu dengan dikejar-kejarnya seorang guru mulai dari yang berijasah SPG, D2 kecuali dengan batas pengabdian yang ada, tidak mengenal usia harus melanjutkan ke S1. Entah apa yang dihasilkan yang terpenting adalah S1. Memang program ini tidak mempersulit dan memberikan kemudahan, tapi semua guna mengejar Tunjangan Sertifikasi. Tidak dirasa setelah adanya Tunjangan Sertifikasi, kini penilaian terhadap seorang guru sudah mulai bermunculan. Hal ini nilai mulia guru yang semakin lama semakin pudar. Entah apa itu memang efek dari adanya Program Sertifikasi atau guru yang memang hanya sekedar mencari Tunjangan Sertifikasi?
Masih teringat oleh kita dulu, guru dikatakan “Enak ya, waktu datang liburan sekolah!”. Dan sekarang cibiran itu muncul juga saat ini, “Enak ya, guru kerjanya segitu pulang jam segitu, bayarannya dua kali lipat!”. Penilaiannya itu tidak hanya pada sesama ASN atau yang punya profesi setara lainnya. Pada penilaian masyarakat umumpun sekarang sudah menilai seakan sertifikasi merupakan harta karun rezeki nomplok yang didapatkan oleh seorang guru.
Tuntutan demi tuntutan sekarang terhadap guru sudah seakan meluas lagi. Guru yang sebenarnya pada dasarnya mendidik, melatih dan mengajar akan tapi sekarang adalah tidak lebih sama dengan tugas kantoran yaitu sosok administrator. Begitu pekerjaan setumpuk keadministrasian yang harus diselesaikan. Sebagai alasan karena sudah mendapat tunjangan sertifikasi, sehingga guru dituntut untuk mengerjakannya sebagai kewajiban. Bukan berarti salah akan tetapi menjadikan tuntutan itu, menjadikan sosok guru harus bergelut kerja tiada batas waktu. Lihatlah sekarang guru saat ini jam kerja disamakan dengan jam pekerja kantoran, Terutama yang PNS.
Apa yang terurai diatas merupakan pandangan yang sekiranya bisa menjadi pembelajaran bagi kita sebagai guru. Guru merupakan sosok manusia yang tiap hari bekerja berhadapan dengan anak didik dilanjutkan harus berhadapan pada keadministrasian. Waktu seakan berlanjut tanpa batas ruang dan waktu, setelah berhadapan dengan anak didik di sekolah seakan harus berlanjut terus keadministrasiannya. Sampai pekerjaan dibawah kerumah untuk menyelesaikannya. Semua itu karena guru diberi embel-embel sebuah tuntutan karena sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Mari kaum guru tetap semangat dalam menjalankan tugas, terpenting adalah bagaimana yang utama terhadap anak didik yaitu membentuk akhlak, budi pekerti kedepannya, disamping berusaha membentuk sosok yang cerdas, kreatif dan inovatif. Dari sinilah semoga nilai kita sebagai guru akan ternobatkan sebagai nilai ibadah. Menjadikan Guru mempunyai Marwah yang mulia dihadapan Tuhan Allah Yang Maha Kuasa. “Kita tetap meyadari Guru adalah Manusia” tidak terlepas akan dari khilaf dan salah.
Nama : Isa Ansori, S.Pd
Unit Kerja : SDN Gunung Sekar 6
Kabupaten : Sampang
Provinsi : Jawa Timur
Kategori Tulisan : Non Fiksi
*Tulisan ini adalah hasil karya peserta webinar MENULIS ITU MUDAH DAN MENYENANGKAN yang diselenggarakan oleh IGI Sampang
Post a Comment for "“Runtuhnya Marwah Guru” (Sebuah Catatan kecil)"