Lora: Literasinya Orang Madura
Sebuah pojok desa di tanah Madura yang gersang, berdiri sebuah rumah kayu dengan atap genteng yang sudah memudar warnanya. Di situ, di tengah kerontang pepohonan yang jarang menghijau, hidup seorang anak muda yang punya keingintahuan besar. Namanya Lora, seorang pemuda dengan tubuh yang agak kurus, kulit legam akibat terbakar matahari, tapi matanya bercahaya seperti orang yang tak pernah lelah mencari makna di balik kata-kata.
Lora, seperti kebanyakan pemuda di desanya, tumbuh dalam kultur yang keras. Ayahnya seorang petani tembakau, dan ibunya penenun kain songket khas Madura. Kehidupan mereka, walaupun tampak sederhana, penuh dengan nilai-nilai adat yang kental. Tapi Lora tidak pernah merasa cukup dengan hanya mengikuti jejak leluhur. Ada satu hal yang membuatnya berbeda dari anak-anak lain di desanya: kecintaannya pada literasi.
Di suatu sore yang cerah, Lora duduk di bale-bale bambu di halaman belakang rumahnya. Angin berembus pelan membawa aroma asin laut yang terletak tak jauh dari desa mereka. Di tangannya, tergenggam sebuah buku tua berbahasa Madura. Buku itu diwariskan dari kakeknya, seorang kiai yang disegani di daerah itu. Dalam buku itu, tertulis sajak-sajak dan cerita-cerita yang sarat dengan pesan moral dan kebijaksanaan. Sebuah dunia yang, bagi Lora, terasa asing sekaligus akrab.
Kebiasaan membaca ini memang jarang dijumpai di kalangan anak-anak Madura. Mereka lebih banyak disibukkan dengan bekerja di sawah, membantu orang tua, atau sekadar nongkrong di warung kopi yang penuh dengan cerita-cerita lucu dan kisah kehidupan yang getir. Tapi Lora tak tergoda oleh itu semua. Setiap kali dia tenggelam dalam buku, dunia di sekitarnya seolah menghilang. Hanya ada dia dan kata-kata.
“Apa kau paham arti hidup, Lora?” suatu hari kakeknya pernah bertanya padanya ketika mereka sedang duduk di langgar kecil di tepi desa.
Lora yang saat itu masih anak-anak hanya menggeleng pelan. Kakeknya tertawa, sebuah tawa yang hangat dan penuh rahasia. “Baca buku ini,” katanya sambil menyerahkan buku tua itu kepada Lora, “Mungkin kau akan temukan jawabannya.”
Sejak hari itu, buku-buku menjadi sahabat karib Lora. Tidak hanya buku-buku berbahasa Madura, tapi juga berbagai literatur lain yang dia temukan di perpustakaan kota. Setiap kali ada kesempatan pergi ke kota, Lora akan menyelinap ke perpustakaan kecil di sudut pasar. Di sanalah dia bertemu dengan dunia baru: dunia yang jauh dari sawah, dari tembakau, dari debu-debu jalanan yang berterbangan di musim kemarau.
Suatu hari, ketika sedang duduk membaca di sebuah warung kopi di pasar, seorang lelaki tua menghampiri Lora. Wajahnya penuh kerut, tapi sorot matanya tajam. Lelaki itu menatap Lora sejenak, lalu berkata dengan nada serius, “Kau tahu, membaca itu tak cukup, Nak. Membaca hanyalah awal dari perjalanan panjang.”
Lora menatap lelaki itu dengan rasa penasaran. Lelaki itu melanjutkan, “Kau bisa membaca ribuan buku, tapi jika kau tidak mampu menghubungkan apa yang kau baca dengan hidupmu sendiri, semua itu sia-sia.”
Kata-kata lelaki tua itu terpatri di benak Lora. Sejak saat itu, dia mulai berpikir lebih dalam tentang apa yang dia baca. Setiap kisah, setiap puisi yang dia temui di halaman-halaman buku, kini dia kaitkan dengan kehidupannya, dengan tanah tempat dia berpijak, dengan budaya Madura yang membesarkannya.
Madura adalah pulau yang keras, dan begitu pula orang-orangnya. Mereka lahir dari tanah yang tandus, terbiasa dengan cuaca yang ekstrem, dengan angin laut yang kadang menggigit dingin di malam hari dan menyengat panas di siang hari. Literasi di kalangan orang Madura bukanlah sesuatu yang dijunjung tinggi seperti di kota-kota besar. Di sini, keterampilan hidup, seperti bertani atau berdagang, jauh lebih dihargai daripada kemampuan membaca dan menulis.
Tapi Lora berbeda. Bagi Lora, literasi adalah cara untuk memahami dunia dan dirinya sendiri. Dia percaya bahwa dengan membaca, dia bisa keluar dari keterbatasan yang dipaksakan oleh keadaan. Dia bisa menembus batas-batas yang selama ini tak terlihat tapi terasa membelenggu. Ketika membaca kisah-kisah dari tempat jauh, Lora merasa seperti dia telah pergi ke sana, merasakan tanah asing di bawah kakinya, mencium aroma pasar yang berbeda dari pasar di desanya, melihat wajah-wajah orang dari budaya yang tak pernah dia kenal sebelumnya.
Tapi tentu saja, hidup di Madura tidak semudah membalik halaman buku. Di desa Lora, buku masih dianggap sebagai barang mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang berduit atau kiai-kiai yang terpelajar. Teman-teman Lora sering kali menertawakan kebiasaannya membaca. “Apa yang kau cari dari buku-buku itu, Lora?” mereka bertanya sambil tertawa kecil, “Kau tak akan menemukan uang di sana.”
Lora hanya tersenyum. Dia tahu bahwa di dalam buku, dia menemukan lebih dari sekadar uang. Dia menemukan kebebasan. Kebebasan untuk berpikir, untuk bermimpi, untuk berharap.
Namun, literasi bagi Lora bukanlah sekadar kemampuan membaca dan menulis. Itu adalah cara dia memahami dunia, mendekati kehidupan dengan keingintahuan yang tak terbatas. Setiap kata yang dia baca, setiap cerita yang dia selami, memberinya pelajaran tentang bagaimana menjalani hidup. Buku-buku Madura yang tua, dengan huruf-huruf yang mulai pudar, memberikan Lora rasa bangga akan warisan budaya leluhurnya. Sementara buku-buku asing yang dia temukan di perpustakaan kota memberinya wawasan tentang dunia yang lebih luas, yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
Bagi Lora, literasi adalah jembatan. Jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tanah kelahirannya yang keras dan dunia yang luas di luar sana. Dan di atas jembatan itu, Lora berjalan dengan langkah-langkah yang mantap, membawa serta harapan-harapan kecilnya untuk masa depan yang lebih baik.
Lora tumbuh menjadi pemuda yang berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Dia tidak hanya berpikir tentang bagaimana mencari nafkah dari ladang tembakau, atau bagaimana bertahan hidup di tengah kerasnya alam Madura. Dia juga memikirkan bagaimana membawa perubahan. Bagaimana menjadikan literasi sebagai alat untuk membangun jembatan antara tradisi dan modernitas, antara nilai-nilai lama yang dia hargai dan dunia baru yang terus berkembang di luar batas-batas desanya.
“Aku ingin orang-orang di desaku tahu bahwa literasi bukan hanya untuk orang kota,” kata Lora suatu hari kepada seorang temannya, “Literasi adalah hak semua orang, bahkan orang Madura sekalipun.”
Dengan semangat itu, Lora mulai mengajarkan anak-anak di desanya untuk membaca dan menulis. Dia membuka perpustakaan kecil di rumahnya, mengumpulkan buku-buku yang dia dapatkan dari berbagai tempat. Perlahan, anak-anak mulai datang. Mereka duduk di lantai rumah Lora yang sederhana, membuka halaman-halaman buku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, seperti Lora ketika dia pertama kali membuka buku tua dari kakeknya.
Waktu terus berjalan, tapi semangat Lora tak pernah surut. Di tengah angin kering dan debu yang beterbangan, di antara suara cangkul yang menghantam tanah dan riuhnya pasar, Lora terus membaca, terus mengajarkan literasi kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Bagi Lora, literasi bukan sekadar tentang membaca buku. Literasi adalah tentang memahami kehidupan, tentang berani bermimpi, dan tentang tidak pernah berhenti mencari makna, meski di tengah segala keterbatasan.
Lora, dengan semangatnya yang membara, terus menulis kisahnya sendiri. Kisah tentang bagaimana seorang pemuda dari tanah Madura yang keras, dengan buku-buku di tangannya, berhasil mengubah dunia di sekitarnya, sedikit demi sedikit.
Post a Comment for "Lora: Literasinya Orang Madura"