Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

PEMBIMBINGAN SISWA DENGAN RAGAM KARAKTER DALAM AJANG KOMPETISI

 oleh Atiril Atifah, S.Pd., Gr.


Sebagai orang tua maupun guru, seringkali kita memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadap anak maupun peserta didik kita. Dengan tujuan pembelajaran tertentu, tentunya seorang guru mengharapkan anak dapat menguasai standar kompetensi tertentu sebagai penanda keberhasilan pencapaian materi. Sedangkan para orang tua akan dengan sederhana mengukur keberhasilan pendidikan anak-anak mereka melalui laporan nilai yang diberikan setiap akhir semester (rapor). Pertanyaannya, apakah kita sudah betul-betul mengetahui bahwa sampai di titik itulah pencapaian mereka? Atau kita hanya sekadar menghakimi mereka dengan parameter kita sendiri?

Dalam artikel ini, izinkan saya berbagi pengalaman dalam membimbing anak-anak cerdas istimewa (gifted children), anak-anak terlatih, dan anak-anak gigih dalam keikutsertaan mereka di berbagai ajang prestasi bergengsi baik tingkat regional maupun nasional. Mengapa saya menggolongkan peserta didik ke dalam kelompok tersebut? Sebab karakteristik mereka menentukan ke dalam kelompok apa mereka bermuara.

Anak cerdas istimewa-bakat istimewa terlahir dengan anugerah khusus yang tidak dimiliki anak lain seusianya. Kemampuan mereka berkembang dengan cepat dan pesat, bahkan melebihi ekspektasi orang tuanya. Orang tua yang menginsafi karakteristik ini dalam diri anaknya akan memainkan perannya dengan apik sebagai fasilitator awal dalam meningkatkan kecerdasan anak maupun mengembangkan bakat yang dimilikinya. Sedangkan bagi orang tua yang terlambat menyadari ini, tentunya ini juga bukan masalah yang berarti. Sebab anak cerdas istimewa-bakat istimewa akan mencari jalannya sendiri untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Anak-anak terlatih telah disiapkan oleh orang tuanya dengan matang. Orang tua yang ingin anaknya menjadi dokter akan senantiasa memberikan stimulasi ilmu kesehatan sejak dini. Mungkin saja mereka diberi asupan buku bergambar tentang anatomi tubuh manusia maupun jenis-jenis patologi. Koleksi mainan mereka adalah miniatur stetoskop dan peralatan medis lainnya sehingga secara tidak sengaja, mereka membiasakan diri dan telah sangat dekat dengan peralatan itu. Apakah anak-anak ini memiliki pilihan untuk meminati bidang lain? Tentu saja, namun mereka terlatih untuk menguasai bidang tertentu sesuai training yang diberikan orang tua maupun guru.


Anak-anak gigih tidak terlahir dengan bakat khusus dan tidak pula mendapatkan training khusus. Mereka tidak pernah lelah mencoba meski harus gagal berkali-kali. Mereka tahu bahwa bidang yang sedang mereka geluti bukan bakatnya, namun mereka akan terus berusaha dengan berlandaskan keyakinan dan ketekunan. Tanpa bimbingan, mereka akan jauh tertinggal dengan dua kelompok lainnya. Namun dengan sedikit saja fasilitas dan materi pembelajaran, mereka akan terus berusaha memantaskan diri untuk berada dalam nominasi kejuaraan.

Sebagai guru, kita tidak bisa memilih ingin mengajar peserta didik yang seperti apa. Pada kenyataannya di dalam kelas, siswa yang kita ajari sangat beragam, baik itu tingkat kecerdasannya, maupun latar belakang keluarganya. Sejalan dengan Kurikulum Merdeka, tentu kita tidak boleh memukul rata semua anak dengan cara belajar yang sama. Lebih-lebih jika kita memutuskan bahwa si A mencapai kompetensi dasar dan si B tidak mencapai kompetensi dasar.

Dalam perjalanan sebagai instruktur di kelas olimpiade di sebuah sekolah swasta (sebelum diangkat sebagai ASN), saya menemukan banyak fakta baru terkait bagaimana anak- anak ini belajar dan berusaha meraih prestasi. Kelas olimpiade ini didesain khusus untuk anak- anak yang berminat mengikuti perlombaan sehingga porsi mata pelajaran umum yang mereka dapatkan setiap pekan hanya 40 persen saja. Kelas ini merupakan kelas kecil dengan setiap tingkatan berisi 3-7 siswa saja. Mereka diseleksi setahun sekali setelah penerimaan peserta didik baru untuk kemudian mengikuti program ini selama mengenyam pendidikan di jenjang sekolah.

Di dalam setiap kelas terdapat ketiga kelompok seperti yang dijabarkan sebelumnya. Berhubung kelas ini adalah kelas olimpiade, maka 100% siswanya memiliki minat belajar yang tinggi dan bersifat kompetitif satu sama lain. Minat belajar sudah tidak menjadi permasalahan mendasar. Yang harus ditekankan di sini justru solidaritas dan empati siswa pemenang lomba dan siswa yang kalah lomba. Membesarkan hati mereka yang belum beruntung membawa pulang piala adalah sebuah kewajiban untuk mempertahankan semangat berproses.

Membimbing ketiga kelompok siswa ini memiliki tantangan masing-masing. Membimbing anak cerdas istimewa-bakat istimewa membuat guru menyiapkan materi dengan ekstra agar dapat menjawab kebutuhannya. Guru akan belajar terlebih dahulu untuk dapat memfasilitasi mereka dengan baik. Lebih-lebih ini adalah program olimpiade, di mana anak belajar materi di atas standar mereka. Anak-anak cerdas-istimewa kelas olimpiade yang


meminati bidang matematika dan sains akan lebih mudah menjuarai kompetisi dibanding anak- anak terlatih dan gigih.

Anak terlatih selalu membiasakan diri dengan pola pembimbingan yang diberikan guru. Mereka tidak memiliki cukup pengetahuan dasar, namun prestasi yang dicapainya bisa lebih dari anak cerdas istimewa. Mengapa demikian? Sebab mereka selalu istiqomah mengulang materi atau soal yang diberikan di sekolah. Jika mereka adalah tim public speaking, maka mereka akan senantiasa menghafal naskah yang mereka siapkan untuk lomba dan rajin berlatih di depan cermin. Ini akan membangun persiapan yang lebih baik dari anak cerdas- istimewa yang tidak melakukan review.

Kelompok terakhir yang tidak pernah menyerah adalah kelompok anak-anak gigih. Siswa dalam tipe ini selalu berusaha mengejar ketertinggalan dari teman lainnya dengan mencari materi tambahan dan meminta soal tambahan dari instruktur. Sulit bagi mereka untuk menjuarai suatu kompetisi karena posisi pemahaman mereka yang masih “tanggung”. Kebanyakan hanya lolos sampai pada babak semifinal. Namun, mereka tidak pernah menyerah dan terus berproses. Meski tak banyak piala yang dikoleksi, setidaknya mereka telah berkontribusi dalam puluhan kesempatan untuk bersaing di ajang bergengsi.

Lebih dari itu, kita tetap berkewajiban menjadi fasilitator bagi mereka. Terlepas dari apakah peserta didik kita telah memiliki kemampuan dasar (pre requisite) yang mencukupi atau belum, guru tetap berkewajiban membimbing mereka dalam mencapai titik pencapaiannya masing-masing. Tidak perlu menargetkan semua siswa untuk mendapat sepuluh piala. Satu piala dengan proses yang berarti akan lebih dari cukup untuk membimbing mereka menjadi insan budiman yang berbudi pekerti. (A. Atifah, 22/03/2024, 23:55 WIB).



Profil Penulis 

Nama : Atiril Atifah, S.Pd, Gr

Unit Kerja : SMKN 2 Sampang

Kabupaten : Sampang

Provinsi : Jawa Timur

Jenis Tulisan : Non Fiksi

Email : atirilatifah11@guru.sma.belajar.id


*Tulisan ini adalah hasil karya peserta webinar MENULIS ITU MUDAH DAN MENYENANGKAN yang diselenggarakan oleh IGI Sampang



Post a Comment for "PEMBIMBINGAN SISWA DENGAN RAGAM KARAKTER DALAM AJANG KOMPETISI"

Template Blogger Terbaik Rekomendasi